Laman

Rabu, 07 April 2010

Investigasi Chiby Maruko Chan part one


“BT…………………….” Teriak Ai dari pojok ruangan. Tangan kanannya menyangga kepalanya yang mungil sedangkan tangan kirinya memainkan ujung rambutnya yang bandel, lepas dari ikatan. Wajahnya tampak lecek persis seperti pakaian kusut yang sudah seminggu lamanya tidak disetrika. Wajah bad moodnya plus teriakan kekesalannya semakin menambah suasana muram ruangan kecil berukuran 3 x 4 m dan sudah berumur 10 tahun ini.

“Berisik. Bisa diam nggak sih? Emang gaweanmu dah kelar?”sahut Za si ketua OSIS yang sibuk membaca laporan para staffnya, ketus. Sebenarnya ia juga malas memeriksa laporan monoton para staffnya yang segunung banyaknya, hampir memenuhi tiap cm mejanya, tapi ia paksain diri. Biar tugasnya cepat kelar dan cepat terbebas dari gunung kertas di hadapannya.

“Za, bisa nggak sih format mading kita dirombak total? Mading kita tu ngebosenin banget, nggak punya cita rasa, yagn lebih parah lagi bikin mata sakit yang baca, tulisannya warna-warni sekale, artikelnya dicomot dari sana-sini nggak jelas apa yang mau disampaikan.” Celetuk Ai. Ia sudah berhenti memainkan rambutnya, dan tampak berfikir keras, mengingat-ingat beberapa ide yang pernah mampir di kepalanya.

“Atur aja, I. Aku dah pusing dengan yang satu itu. Kalo kamu ada ide bagus coba aja tuangin, asal tak melebih anggaran.” Sahut Za cuek. Ia sudah nggak ambil pusing dengan mading sekolah. Menurutnya mading sekolah, satu-satunya program yang dinilainya gagal. jikalau pada periode kepemimpinan Kak Frangky masih ada pembaca setia meski hanya dalam hitungan belasan, sekarang malah nggak ada sama sekali. Saat ini kondisinya, ada yang nglirik aja dah syukur. Makanya itu kalo bulan depan masih sepi peminat juga, ia berniat menghapus program ini. Ai teman sekelasnya yang berotak brilian dan rada gelo akan dipindahkan jadi sekertarisnya, membantu menangani tugas-tugasnya selaku ketua OSIS. Sekertarisnya yang sekarang mau dipecat karena kerjaannya nggak becus dan terlalu sibuk tebar pesona daripada bekerja.

“OK, deh. Aku cabut dulu, ya?” Ai lekas merapikan barang-barangnya yang berserakan di meja. Ia membaca inventaris dalam notes untuk memastikan barang-barangnya sudah tersimpan di dalam tas. Saat ini ia sedang menjalani terapi, saran dari Reny teman sebangkunya, agar penyakit pelupanya sembuh karena akhir-akhir ini penyakit pikunnya semakin parah dan amat mengganggu aktivitasnya. Barang yang ketinggalan bukan lagi barang-barang remeh seperti bolpoint, pensil ataupun tip-X, tapi sudah buku pelajaran, buku catatan, sampai tas. Ia bahkan pernah lupa hari sehingga ia salah jadwal pelajaran dan gawatnya lagi hari itu ada ulangan, meski akhirnya ia tetap dapat nilai 10.

“Kok udahan, emang mau ke mana? Gimana dengan kerjaanmu?” tegur Za rada-rada geli lihat raut wajah serius Ai yang dengan tekun membaca notes warna pink, hadiah dari Reny waktu ultahnya ke-14. Ai begitu hingga memeriksa barang-barangnya sampai 2 kali.

“Dah selesai dari kapan tahun. Aku mo matengin dulu ideku di rumah. Mungkin 2-3 hari baru kelar. Duluan ya. Jangan lupa kunci pintu. Sekarang lagi musim maling.” Ujar Ai siap-siap pulang setelah memastikan barang-barangnya aman di dalam tas.

“Yah, jangan pergi dong, I. Bantuin aku bentar. Ni tugasku masih banyak. Ntar aku anterin pulang deh?” tawar Za melas, melirik tumpukan laporan yang hanya berkurang satu inchi.

“Ya, elah itu kan tugasmu. Lagian salahmu sendiri, kerjanya nggak cerdas. Baca laporan detail sampai titik komanya, makannya nggak selesai-selesai. Coba kamu baca intinya aja, soal penulisan dimaklumi ajalah, biar cepat beres. Atau jangan-jangan….”

“Jangan-jangan apa?” tukas Za.

“Ah sudah lupakan saja. Bye!” ujar Ai seraya menyambar tas punggung warna hitam kesayangannya.

“Bilang jangan-jangan apa?” kejar Za tak bisa menahan rasa penasaran.

“Jangan-jangan….. jangan-jangan….kamu takut sendiri, ya?” Goda Ai.

“Takut apaan?”

“Takut si Kunti dan gerombolannya datang ke sini. Kan sebelah ruang kita ruang musik yang legendaris, satu dari tujuh keajaiban sekolah.” Ujarnya usil dengan watadosnya (wajah tanpa dosa). Ia paling senang menjahili Za. Tiap ada kesempatan ia berusaha membuat Za keki dan sering kali usahanya berhasil. Kali ini juga sama. Za sampai kehilangan kata-kata. Ia melempari Ai gulungan kertas tak berbentuk ke arah Ai saking dongkolnya. Ai cepat-cepat menjauh sebelum dirinya menjadi sasaran tembak puluhan, ratusan atau mungkin ribuan gumpalan kertas.

“Ngaco, loe.” Sungut Za, ikut-ikutan beresin mejanya. Beberapa laporan dimasukkan ke dalam tas, buat dipelajari di rumah. “Tungguin, I. Kita pulang bareng.” Teriaknya saat melihat Ai sudah berjalan ke luar ruangan dan mempercepat membereskan barang-barangnya.

“Hmm, takut ya….?”

“Bukan, ngaco loe. Aku malas aja kerja sendirian di ruang bosenin itu. Mending ngerjain di rumah sambil nonton TV.” Ujar Za berjalan cepat-cepat. Dalam 4-5 langkah ia sudah bisa berjalan sejajar dengan Ai.

“Ya terserahlah…, itung-itung hemat uang saku.” Timpal Ai, angkat bahu.

Mereka berjalan beriringan menuju tempat parkir, tanpa banyak bicara. Za segera menstetater dan tancap gas sepeda motornya setelah Ai naik di jok belakang. Mereka membelah jalan raya Rembang yang sepi kenderaan motor. Rambut Ai yang tak terlindungi helm menari-nari dipermainkan angin yang bertiup sepoi-sepoi. Ai tampak menikmati hembusan angin dan pancaran hangat sinar sang Sang surya di sore hari. Tangannya mencengkram pinggiran sepeda motor agar tidak terjatuh ke jalan. Kira-kira setengah jam kemudian baru mereka sampai di rumah Ai. Seusai menurunkan Ai di depan rumah Za segera melajukan sepeda motornya, tak berniat mampir.

………………………………………………………………..………….*******…………………………….…………………………………………